Senin, 29 Desember 2014

Resensi buku


RESENSI BUKU 


IDENTITAS BUKU:
kategori sub : komputer (pemrograman)
penulis : iman maulana
ukuran/halaman :16x23 cm / x+ 194 halaman
edisi/cetakan : I, 1st published
tahun terbit : 2014
berat : 266 gram



Pendahulan

bagaimana cara membuat game? apa yang harus di pelajari? software apa yang di perlukan?

jika bertanya seperti itu, maka panulis akan menjawab " SELAMAT ANAD TELAH MEMGANG BUKU INI!" buku ini adalah sebuah tiket kita untuk membimbing anda menjadi seorang developer game flash. di sini akan di bahas bagaimana membuat game dengan sebuah software bernama adobe flash profesional cs6.
semenjak kehadirannya tahun 1996 flash mampu menciptakan dunia animasi dan web interaktif yang menarik. bahkan setelah kehadiran ActionScript, flash menjadi sebuah program pembuat game yang mudah dan efektif.
kehadiran ActionScript 3.0 seakan membawa perubahan yang besar di dunia pemrograman game.dengan wajah barunya, AS3 menjadi bahasa pemrograman yang lebih kompleks, namun semakin cepat dan mudah dalam pembuatan game.

sinopsis

Perkembangan yang pesat di dunia komputer khususnya di bidang software development mempunyai dampak besar terhadap industri game. Banyak sekali developer-developer game menekuni pembuatan game baik untuk keperluan komersil maupun non komersil. Terdapat banyak sekali software-software yang bisa digunakan dalam pengembangan game baik itu pc game maupun mobile game. Salah satunya adalah Pembuatan game dengan menggunakan Adobe Flash.
Buku ini dipersembahkan bagi anda yang ingin mempelajari cara pembuatan game dengan flash. Bagi anda yang sudah mengenal flash maupun pemograman action script, buku ini bisa menjadi bahan referensi yang pas bagi anda untuk dipelajari. Jika anda masih pemula dan baru mengenal flash maupun dunia programming, jangan berkecil hati karena buku ini akan membimbing anda selangkah demi selangkah bagaimana untuk membuat sebuah game sampai anda benar-benar memahaminya.

Kelebihan
1.  banyak step dan tutorial nya
2. mudah di mengerti, dan banyak gambar yg menarik
3. contohnya pun lebih rinci dan mudah untuk di ikuti

Kekurangan
1. di butuhkan ketelitian khusus
2. ada beberapa script pemrograman yang sulit di pahami
3. banyak bahasa pemrograman yang belum di ketahui
4. kurang berwarna.



judul :tidur berbantal koran
penulias : N.mursidi
penerbit : Elex media komputindo
tahun terbit : pertama 2013
jumlah halaman : 246 halaman

Sebagai seorang yang sangat suka membaca saya  selalu tergelitik ingin tahu apakah orang-orang yang pekerjaannya menjual bahan-bahan bacaan seperti  penjual koran, penjual buku-buku bekas, pramugari toko buku, dll membaca juga apa yang mereka jajakan? Jika memang demikian tentunya akan banyak sekali manfaat yang mereka peroleh dari apa yang mereka jajakan karena buku, koran, majalah, dll adalah sumber pengetahuan dan ispirasi hidup yang begitu mudah mereka dapatkan hanya dengan cara membacanya. 


Itulah yang dialami N. Mursidi, seorang anak desa yang mencoba membiayai kuliahnya di Jogya dengan cara berjualan koran. Sebelumnya cita-citanya hanyalah bisa kuliah dan memperoleh pekerjaan yang layak. Namun siapa sangka, dari yang tadinya berjualan koran hanya untuk sekedar membiayai hidup dan kuliahnya ternyata dari koran-koran yang ia jajakan itu jalan hidup dan mimpinya berubah.

Berawal dari seorang tukang becak  yang selalu membeli korannya untuk dibacanya membuat Mursidi tergeragap melihat begitu antusiasnya seorang tukang  yang rela menyisihkan sedikit hasil jerih lelahnya untuk membeli koran dan membacanya dengan tekun. 

“Aku merasa malu pada diriku sendiri. Selama tujuh hari berjualan koran, aku tidak pernah membaca koran yang kujajakan sendiri. Aku seperti tidak peduli dengan apa yang kujual karena yang kuinginkan adalah koranku lalu… Tak pernah aku meluangkan waktu untuk membaca dengan detail isi berita koran yang kujual” (hlm 5-6)
Tergugah oleh apa yang dilakukan tukang becak itu maka iapun tergerak untuk membaca setumpuk koran yang dijualnya. Dari apa yang dibacanya itu Mursidi menemukan sebuah opini yang ditulis mahasisiwa di sebuah rubrik koran yang dijualnya. Dari situ dirinya tersadarka akan  sebuah kenyataan bahwa mahasiswa seperti dirinya bisa menulis di koran apalagi ketika dirinya membaca rubrik resensi di koran Mingggu yang biasanya ditulis oleh para mahasiswa. Saat itulah ia memutuskan untuk bisa menulis di koran.


“Setiap selesai membaca tulisan-tulisan penulis yang masih berstatus mahasiswa itu, otakku serasa mendidih bagai air yang dijerang di atas tungku. Ada sekelebat mimpi di dadaku yang memompaku untuk bisa menulis; menorehkan namaku di koran seperti mereka. Maka dalam hati, aku berjanji bahwa suatu saat nanti aku harus bisa menulis di koran.” (hlm 6)

Semenjak itu pula dirinya makin rajin membaca koran  yang dijualnya dan mempelajari tulisan yang dimuat secara koran secara otodidak dan mulailah ritual baru dalam kehidupannya, pagi berjualan koran dan membaca koran setiap ada kesempatan, siang berangkat kuliah, dan malam harinya menulis dengan mesin tik bekas yang dibeli dari temannya. Demi menghasilkan tulisan ia rela memotong waktu tidurnya agar memiliki waktu banyak untuk  menulis dan mencoba mengirimkan tulisan-tulisannya ke sejumlah koran. 

"Waktu itu, aku memang sengaja tidak membeli bantal  agar jam tidurku tidak berkepanjangan. Tak salah, karena di kamar banyak buku, maka buku-bukuku itulah yang kerap kujadikan bantal. Tak jarang, aku pun bahkan memakai alas tumpukan koran sebagai bantal" (hlm 172-173)

Namun tak semudah yang ia bayangkan, ia harus menghadapi banyak tantangan, ada banyak jalan berliku, perjuangan yang tidak mudah, persaingan yang ketat antara sesama penulis, dan ekstra kesabaran yang harus dilakonimya sebelum akhirnya tulisannya dimuat di koran. Dan karena ketekunannya membaca dan menulis secara otodidak pada akhirnya tidak hanya satu dua tulisan yang berhasil dimuat di koran melainkan  ratusan tulisannnya menghiasi berbagai koran lokal dan nasional dan hal ini pula yang akan mengantar dirinya menjadi seorang wartawan dan penulis tetap di sebuah majalah islami terkenal hingga kini.

Semua pengalaman N. Mursidi dari seorang penjual koran menjadi wartawan tersebut tertuang dalam buku memoarnya yang berjudul “Tidur Berbantal Koran”.  Buku ini tersaji dalam 4 bagian besar. Di bagian pertama dikisahkan suka duka penulis berjualan koran di jalanan, bagaimana trik-triknya untuk mendapatkan pembeli, serta bagaimana kerasnya hidup di jalanan dan bagaimana penulis dengan hidup nomaden dengan sepeda Onthelnya

Pengalaman penulis ketika belajar menulis secara otodidak dengan mesin tik bekas di malam hari bagaimana perjuangan penulis agar tulisannya dimuat di koran  tersaji di bagian kedua dan ketiga.  Ada berbagai pengalaman menarik di bagian ini antara lain bagaimana tulisannya menjadi pembungkus nasi yang sedang disantapnya, pengalaman pertama mengirim resensi via email, dan bagaimana pengalaman pahitnya ketika ia diejek teman-temannya  karena terus menerus menerima surat pengembalian resensi dari Kompas.Dan di bagian akhir bagian ketiga ini penulis juga menyuguhkan tips-tips membuat resensi berdasarkan pengalamannya

Di bagian ke empat, yang merupakan bagian akhir dari memoar ini ada bagian yang menyuguhkan tips dan buah manis dari perjuangannya menulis untuk koran seperti tips membaca koran dan menyelami apa yang ada di balik teks, dan kisah bagaimana akhirnya penulis hijrah ke Jakarta dan diterima sebagai wartawan di sebuah majalah Islami terkenal.

Singkatnya lewat memoar yang tersaji dengan menarik dan ditulis dengan jujur dan apa adanya ini akan mendorong pembacanya untuk tidak menyerah dalam menggapai mimpi walau seribu kesulitan dan tantangan menghadang. Buku ini cocok sekali untuk memotivasi para penulis yang sedang mencoba menjajal kemampuan menulisnya dan sedang memimpikan namanya tercetak di koran-koran.

Lewat buku ini pembaca akan diajak menapaki jejak perjuangan penulis dimana awalnya ia begitu sulit menembus koran namun berkat ketekunan dan kerja kerasnya akhirnya si mantan penjual koran ini berhasil menjadi penulis produktif  dimana hingga kini ada sekitar 300an  tulisannya (opini, essai, cerpen, resensi) yang sudah dimuat di koran lokal dan nasional. Tak berlebihan rasanya jika harian Jurnal Nasional  menyebutnya sebagai "Raja Resensi"

Satu-satunya kritik terhadap buku ini adalah pada label yang diberikan penerbit pada memoar ini. Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel  yang diangkat dari kisah nyata.

Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.

Identitas Buku
Judul                            : Tidur Berbantal Koran
Penulis                         : N. Mursidi
Penerbit                        : Elex Media Komputindo
Tahun Terbit                : Pertama, 2013
Jumlah Halaman          : 246 halaman
ISBN                            :  978-602-020-594-6
Kelebihan dan Kekurangan Buku
Kelebihan Buku:
1.      Cover buku cukup menarik dan sesuai dengan keadaan penulis pada saat itu yang menjadi seorang mahasiswa di Yogjakarta. (yaitu diikut sertakannya tugu Yogja pada Cover tsb.)
2.      Buku ini menceritakan kisah dari seorang mahasiswa.
3.      Buku ini ditulis dengan jujur dan apa adanya, tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel yang diangkat dari kisah nyata. 
4.      Buku ini mengajarkan kita akan arti perjuangan yang akan sia-sia tanpa pengorbanan dan usaha yang keras.

Kekurangan Buku
Label yang diberikan penerbit seharusnya sama dengan apa yang ditulis oleh penulis. Bukan sebuah “novel” tapi sebuah “memoar”.

Pendapat  Resensator terhadap BukuTidur Berbantal Koran”
Di cover buku ini tepatnya di atas nama penulisnya tertera tulisan "Sebuah Novel" padahal dalam pendahuluannya penulis dengan jelas menyebutkan bahwa buku ini adalah Memoar. Lalu kenapa menjadi novel? padahal novel dan memoar adalah dua hal yang berbeda. Atau apakah ini novelisasi dari pengalaman penulis? Dalam sebuah kesempatan saya pernah menanyakan langsung pada penulisnya, dan beliau mengatakan bahwa semua yang ditulis dalam buku ini adalah kisah nyata dan tidak ada dramatisasi kisah seperti layaknya sebuah novel  yang diangkat dari kisah nyata.  Jika ini memoar, kenapa penerbit mencantumkan label novel pada buku ini? Apakah ini hanyalah strategi pasar? Bagi seorang pembaca saya tentunya tidak bisa menerima alasan ini karena yang dibutuhkan pembaca sejati adalah buku yang kemasannya (cover, label, judul, sinopsis, dll) mencerminkan isi buku yang sesuai dengan apa yang hendak disampaikan penulisnya.